Dr. Bakhrum Amir, Lc., M.Ed. Dosen dan Penggerak Pendidikan Berbasis Pesantren – Ada beberapa alasan mengapa kebijakan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam. Kebijakan ini mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja usia sekolah. Dengan menekankan bahwa pernikahan adalah tempat yang sah untuk aktivitas seksual, Islam sangat mementingkan kesucian dan moralitas dalam perilaku seksual. Penyediaan alat kontrasepsi kepada remaja dapat dianggap sebagai cara untuk memfasilitasi akses mereka ke perilaku seksual di luar pernikahan, yang bertentangan dengan prinsip kesucian Islam. Menurut perspektif ini, alat kontrasepsi dianggap dapat mendorong perilaku yang bertentangan dengan standar moral agama.
Adat ketimuran di Indonesia sering kali mengedepankan nilai-nilai tradisional dan norma-norma sosial yang mengatur perilaku masyarakat, termasuk dalam hal seksualitas dan pendidikan reproduksi. Dalam konteks ini, saya melihat bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja usia sekolah bisa dianggap tidak sesuai dengan adat ketimuran jika dianggap bertentangan dengan norma dan tata krama yang berlaku. Banyak masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai tersebut mungkin merasa bahwa langkah ini dapat memberikan dampak negatif pada perilaku remaja dan dapat merusak moralitas serta tatanan sosial.
Islam menganjurkan pendidikan yang mendalam dan menyeluruh tentang nilai-nilai moral dan etika terkait dengan seksualitas, dengan fokus pada pencegahan dan penghindaran perilaku yang tidak sesuai. Penggunaan alat kontrasepsi bagi remaja mungkin dianggap mengalihkan perhatian dari pendidikan seksual yang berbasis pada nilai-nilai agama dan tidak mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tanggung jawab moral dan spiritual.
Selain itu, diharapkan bahwa pendidikan seksual Islam mengajarkan nilai-nilai moral dan etika serta tanggung jawab spiritual. Jika kebijakan yang memberikan alat kontrasepsi tidak disertai dengan pendidikan agama, mereka mungkin mengabaikan elemen penting dari pendidikan moral yang seharusnya menjadi dasar pengajaran seksualitas. Menurut ajaran Islam, penggunaan alat kontrasepsi harus disertai dengan pemahaman tentang tujuan dan niat yang benar. Jika kebijakan ini mengabaikan elemen-elemen tersebut, maka kebijakan tersebut dapat dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai pimpinan pondok pesantren dan juga pendidik, saya khawatir tentang dampak sosial yang lebih luas dari kebijakan ini, seperti cara remaja melihat pernikahan dan seksualitas. Kebijakan yang dianggap melanggar tatanan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai agama akan menghadapi penentangan, terutama jika dianggap merusak keharmonisan dan kebaikan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Kesimpulan: Berdasarkan prinsip kesucian, pendidikan moral, dan dampak sosial, kebijakan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja usia sekolah dapat dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya sesuai dengan kebutuhan praktis tetapi juga sejalan dengan prinsip agama dan moral masyarakat. Untuk mencapai keseimbangan yang tepat, diskusi dan evaluasi menyeluruh tentang penerapan kebijakan ini dalam kaitannya dengan ajaran Islam dan nilai-nilai budaya lokal sangat penting.